TARAKAN – Intoleransi dinilai aktivis pemuda Kristen semakin masif terjadi di Kalimantan. Hal ini terlihat dari berulangnya peristiwa pelarangan beribadah, penolakan pembangunan rumah ibadah dan yang paling parah yakni pengeboman gereja.
Paham dan perbuatan yang memecah belah umat beragama itu, tak hanya sekali terjadi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kabupaten/kota di pulau borneo tersebut diwarnai aksi intoleran terhadap hak peribadatan umat Kristiani.
Permasalahan ini dikecam tegas oleh Kristianto Triwibowo, seorang aktivis pemuda Kristen yang juga purnabakti Kordinator Wilayah VI (Kaltara, Kaltim, Kalteng, Kalsel) Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Masa Bakti 2022-2024.
Pemuda yang lahir dan besar di Kalimantan Utara itu, menyuarakan bahwa hak beragama dan beribadah adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yakni setiap warga negara Indonesia berhak untuk memilih dan menjalankan agama dan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
“Tindakan ataupun paham Intoleransi adalah penghianatan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Itu musuh besarnya negara. Sekarang ini marak terjadi di Kalimantan, fakta menyebutkan itu terjadi di Tarakan, Samarinda, Kotawaringin Timur dan Kubu Raya. Masing-masing daerah beragam motif dan kronologis, lalu itu terjadi berulang disertai intimidasi. Apakah kekuatan intoleran lebih besar dari kekuatan negara ?,” tegas Kristianto pada Jumat, 25 Juli 2025 kepada awak media.
Penolakan gereja di beberapa kabupaten/kota Kalimantan dalam sepuluh tahun terakhir masih menjadi isu yang sensitif. Berikut beberapa contoh kasus penolakan gereja di Kalimantan :
– Penolakan Pembangunan Gereja Toraja di Samarinda. Gereja Toraja di Sungai Keledang, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur juga menghadapi penolakan dari sejumlah pihak. Meskipun telah memiliki rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pembangunan gereja masih terhambat karena penolakan warga dan kekhawatiran pemerintah setempat akan memicu konflik.
– Penolakan terhadap Gereja Mawar Sharon di Kelurahan Selumit, Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Salah satu faktornya yaitu adanya Surat Penolakan dari organisasi kemasyarakatan di Kota Tarakan sebelumnya mengeluarkan surat pernyataan penolakan pelaksanaan ibadah umat Kristen di Gereja Mawar Sharon. Namun, pimpinan ormas tersebut, kemudian mencabut surat karena merasa tidak memahami isinya saat menandatanganinya.
– Penolakan Pembangunan Gereja di Dusun Parit Mayor Darat Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pada Juli 2025, 9 Ketua RT menolak rencana pembangunan Gereja Katolik. Penolakan tersebut didasari karena kekhawatiran beberapa warga jika gereja dibangun di wilayah mereka, akan berpotensi konflik sosial.
– Penolakan pembangunan gereja di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin Timu, Kalimantan Tengah. Surat resmi Kepala Desa Sumber Makmur yang menolak pembangunan rumah ibadah (gereja) di wilayah RW 003 Desa Sumber Makmur menjadi perhatian utama dan respon dari berbagai pihak.
– Peristiwa terorisme yang mengancam kehidupan beragama juga terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Pengeboman Gereja di Samarinda terjadi pada 13 November 2016 di Gereja Oikumene, Sengkotek, Loa Janan Ilir, Samarinda. Pelakunya melemparkan bom molotov saat pergantian jemaat, yang menyebabkan 4 anak-anak terluka bakar dan salah satunya, Intan Olivia, berusia 2,5 tahun, meninggal dunia keesokan harinya. Pelaku pengeboman itu bernama Juhanda alias Jo, mantan narapidana kasus teror bom buku tahun 2011. Dia ditangkap di Sungai Mahakam setelah melarikan diri dan dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 25 September 2017.
Pemuda yang juga aktif sebagai Wakil Sekretaris Umum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Muda Kota Tarakan itu, melihat aksi intoleransi terhadap umat beragama semakin meningkat. Ditambah seolah lamban hingga diamnya pemerintah dalam mitigasi dan menyelesaikan aksi penolakan gereja.
Kemudian, Kristianto pun menyoroti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah sering menjadi alasan penolakan tersebut. Ia berpendapat, seharusnya ketika terdapat kendala proses perijinan, peran negara wajib mendampingi agar hak beragama dan beribadah di bangsa ini tidak dikebiri.
Tak lupa juga, kata dia pemerintah dan penegak hukum bertanggungjawab untuk mengambil langkah komunikatif mengenai kepastian hak kewajiban warga negara dalam beragama dan beribadah, ketika ada pihak-pihak yang menolak pembangunan rumah ibadah.
“Peran Kemenag, pemerintah daerah dan TNI/Polri seakan takut melawan pihak intoleran. Beberapa kejadian penolakan Ibadah yang viral, terlihat aparat tidak bisa menghentikan upaya pengrusakan dan intimidasi saat ibadah. Ironis juga ada lurah, kepala desa dan ketua RT yang juga terlibat langsung dalam penolakan pembangunan gereja,” tambah Kristianto.
Sepanjang tahun 2024, laporan Setara Institut terdapat 329 kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Angka ini meningkat dari tahun 2023 yang sebelumnya 217. Ratusan kasus tersebut pada tahun 2024, sebanyak 39,5 persen dilakukan oleh aktor negara.
Melihat kompleks dan meningkatnya tindakan Intoleransi di Indonesia bahkan mewabah ke Kalimantan, mantan Ketua GMKI Cabang Tarakan itu mendesak tegas agar negara sepenuhnya mewujudkan hak beragama dan beribadah bagi seluruh rakyat.
“Negara tidak hanya abai, tetapi menjadi aktor aktif intoleransi. Kami mendesak agar Presiden Prabowo mengevaluasi Kemenag, Kemendagri dan para kepala daerah, termasuk TNI/Polri hingga di level daerah. Para kepala daerah, termasuk kapolda, pangdam harus merah putih dan berani menindak tegas pelaku intoleran. Sudah saatnya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau SKB 2 Menteri, direvisi,” tutup pemuda yang juga emban Wakil Ketua DPD KNPI Kalimantan Utara.
Tim Redaksi